PERLUNYA MEMERANGI PERSEPSI JILBAB BAGIAN DARI TERORISME
Jilbab umum dikenal sebagai penutup
kepala sekaligus aurat untuk umat muslim yang berjenis kelamin perempuan.
Tetapi belakangan ini jilbab malah dianggap sebagai bagian dari terorisme
pasif. Bukan
rahasia bila pengguna jilbab di beberapa negara dibenci oleh kaum liberal.
Mereka dipandang penuh curiga oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan kini jilbab
yang dikenakan beberapa perempuan Muslim dianggap sebagai bentuk terorisme
pasif.
Di
Amerika, jilbab menjadi sebuah anomali di lingkungan masyarakatnya. Oleh
karenanya persepsi masyarakat di sana cenderung terbentuk untuk memandang
negatif pemakai jilbab.
“Ekstrimisme
terjadi ketika meningkatnya pemakai jilbab di sana yang merupakan bentuk dari
proliferasi Salafi dan katalis Islamisme,” ujar Tawfik Hamid, mantan ekstrimis
dalam sebuah makalah yang dilansirThe Independent, Rabu (24/2/2016). Perkembangan
Militan Salafisme dan Islam membuat ide tercetusnya terorisme pasif. Ia
melanjutkan, perkembangan militan Salafisme dan jilbab berkontribusi ke ide
terorisme pasif.
Pekan
ini, sebuah makalah kebijakan dikeluarkan Air Force Research Laboratory
berjudul Melawan Ekstrimisme Bengis: Metode Ilmiah & Strategi. Makalah itu
berisi beberapa pemikiran yang aneh tentang radikalisasi.
Makalah berisi paham-paham seperti ini
yang perlu ditangkal dan dibendung. Tak ada yang dapat menebak apabila
propaganda terorisme pasif yang membawa-bawa jilbab tersebut bisa saja masuk ke
Indonesia. Karena akan sangat berbahaya apabila pemahaman radikal tersebut
masuk ke Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, dan perempuannya
berjilbab.
Namun pengamat telah menunjukkan, jlbab
biasa dipakai oleh jutaan wanita Muslim, mayoritas dari mereka tidak mendukung
kelompok-kelompok militan. Di antara yang memakai jilbab adalah Ibtihaj
Muhammad dari tim anggar Olimpiade AS dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan
aktivis asal Pakistan Malala Yousafzai. Muslim di Amerika dan di tempat lain
dengan cepat membicarakan laporan tersebut di Twitter dengan menggunakan tagar
#PassiveTerrorism.
Dalam mengatasi ancaman terorisme, harus dimulai dengan dasar pemikiran dan strategi yang tepat. Karena teroris umumnya menggunakan dasar ilmu intelijen, maka "counter terorism" di susun dengan pola operasi intelijen.
Dengan strategi budaya, pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan generasi muda Islam di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu diyakinkan bahwa "surga" akan didapatnya, dan mereka sudah berada dijalan yang benar. Menjadi tugas kita bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian bersemangat, agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian haram dan halal serta pengertian jihad dan mati syahid. Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror hanya ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan dilupakan. Perang dengan terorisme adalah perang yang sangat serius, kalau dahulu hanya alumnus Ngruki yang dibina, kini nampaknya pengkaderan sudah merambah keorganisasi lain. Yang lebih berbahaya, beberapa yang dikader adalah mereka yang tidak berafiliasi keorganisasi manapun. Strategi budaya harus terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka.
Jadi kita harus menyadarkan mereka dengan cara memberikan penyuluhan yang benar untuk mencegah masuknya paham radikalisme di Indonesia. Serta memberikan pengetahuan yang lebih dalam tentang agama, bahwa perempuan yang memakai jilbab itu hukumnya wajib ketika mereka sudah baligh dan bukan merupakan bentuk terorisme.
Komentar
Posting Komentar